Friday, June 21, 2013

Apa Arti Hidup?

Tidakkah kita menyadari bahwa dunia memiliki paket unik yang dapat kita nikmati sepanjang hari, sepanjang tahun, sepanjang bulan, dan bahkan sepanjang tahun?? Kenikmatan itu kita peroleh bukan semata-mata bahwa tanpa maksud, tanpa tujuan, ataupun tanpa perkiraan. Akan tetapi sudah kodratnya dunia ini. Apa bedanya kodrat dengan nasib? Apapula bedanya dengan pemberian atau Given? Apapun pengertian, definisi, makna, atau persepsi kita untuk dunia ini, hendaknya kita dapat menyadari bahwa sepanjang-panjang kita hidup tidak pernah lepas dari dunia yang serba dua, dualisme atau dualism. Semua kehidupan dimulai dari kelahiran dan diakhiri oleh kematian, dilahirkan sebagai laki-laki ataupun sebagai perempuan, hidup dalam keluarga kaya ataupun miskin, menjalani hidup secara pintar ataupun sebaliknya. Semua hal yang berkaitan dengan immaterial maupun material itu tidak pernah jauh dari dualisme dalam setiap objeknya. Kalau tidak bernilai positif ya negatif, kalau tidak suka ya duka. Semua pemberian (given) yang sudah diberikan oleh Tuhan itu selalu bisa kita llihat dari dua sudut yang berbeda. Positif atau negatif, suka atau duka, harmoni ataupun disharmoni tergantung dari bagaimana cara kita menanggapi ataupun bagaimana cara kita berpikir. It's not about the way you want, but it's about the way we think. Kita mengambil sebuah contoh misalnya kenapa seorang Ibu menangis sedih ketika ditinggal berpergian naik pesawat oleh anaknya? Jawabannya adalah karena Dia tidak berpikir. Kenapa Dia tidak berpikir sebaliknya bahwa anaknya sedang menikmati perjalanan pertamanya yang menarik pada saat naik pesawat. Contoh lainnya kenapa kita selalu mengkhawatirkan segala sesuatu yang akan terjadi di masa depan? Ataupun masih menyimpan suatu dendam ataupun kebencian di masa lalu? Masa depan atau masa lalu itu sifatnya selau berubah. Masa depan tidak dapat kita lihat atau kita prediksi. Que sera-sera whatever will be will be, the future not ours to see. Yang kita tahu bahwa jika memang nasib kita akan berkata seperti ini ataupun seperti itu, itu memanglah sudah garis tangan kita untuk menjadi seperti ini ataupun seperti itu. Kita boleh saja melakukan segala usaha dan upaya untuk mengejar sesuatu yang kita anggap sebagai kebahagiaan kita. Tetapi kita hanya dapat sekedar berusaha namun Tuhan lah sebagai penentunya. Ibaratnya walaupun kita telah mencari kebahagiaan sejauh apapun dan dengan pengorbanan apapun, jika itu benar-benar merupakan nasib kita maka kebahagiaan itu tidak akan lari kemana-mana dan jika itu bukan merupakan nasib kita maka kita patut dengan ikhlas menerimanya untuk pergi atau hilang. Nasib bukan melarang kita untuk berusaha, akan tetapi mengajarkan kepada kita untuk berpuas diri apabila usaha kita gagal. Masa lalu sifatnya juga sementara namun diantara kita tidak menyadari kenapa kita pada saat sekarang ini masih menyimpan dendam atau kebencian di masa lalu. Kenapa kita tidak berpikir bahwa orang yang kita benci itu sekarang telah berubah? Dan mungkin saja orang yang kita benci itu sudah melupakan segala kejadian yang pernah ada di masa lalu. Kita tidak hidup dimasa lalu ataupun masa depan, akan tetapi kita hidup di masa kini.
Jadi, apa ada hubungannya kah antara kebahagiaan dengan cara kita berpikir atau cara kita memberi makna pada sesuatu? Jawabannya jelas ada. Persoalan yang ada di luar diri kita dapat kita anggap sebagai persoalan dan dapat juga kita anggap sebagai bukan persoalan. Persoalan itu muncul ketika gambar yang kita respon di dalam chita kita itu adalah gambaran sesuatu hal yang negatif, tidak sesuai dengan angan-angan kita, dan terutama tidak sesuai dengan kebahagiaan kita. Jadi, nilai yang kita berikan untuk segala persoalan yang datang kepada kita adalah berupa nilai relatif atau tidak absolut. Tak tahukah kita bahwa dualisme di dunia ini ada karena dunia memanglah hanya tempat transit sementara kita. Dunia itu tidak kekal dan abadi. Kalau dalam bahasa jawanya “ Menungso mung mampir ngombe” atau “Menungso sak dhermo ngelakoni”.  Jika manusia hanya menjalani dari given yang sudah ada, ataupun destiny yang sudah ada, lalu kenapa kita tidak memanfaatkannya sebagai sesuatu yang dapat bernilai lebih lagi bagi sekitar kita lalu malah menyia-nyiakannya sebagai sesuatu yang hanya sekedar dijalani dengan semau udel kita atau suka-suka kita. Hidup kita akan lebih berarti jika dapat memberi arti kepada orang lain. Jika kita mencintai dan mensyukuri Tuhan sebagai segala pencipta alam/mahkluknya ini dan terutama sebagai pemberi hidup kita yang berharga ini, lalu  mengapa kita tidak membalasnya dengan suatu karya nyata yang dapat mentransmit cinta kita kepada Tuhan melalui umatnya yang tercinta? Karena pada dasarnya jika kita mencintai dan mengasihi Tuhan, maka kita akan mencintai dan mengasihi ciptaannya juga. Selama ini kita disibukkan dengan segala hal yang berhubungan dengan keegoan kita. Secara jujur hal yang kita lakukan dimulai dari kita bangun tidur, menjalani hari, dan menutup hari tidak jauh dari hal ego. Kita hanya mengurusi kepentingan yang dapat menyenangi ego atau ahankara kita saja. Kenapa tidak kita sisihkan dari 24 jam waktu kita yang panjang ini untuk mengingat NamaNya. Memulai hari dengan menyebut Namanya, Menjalani hidup dengan senantiasa ingat padaNya, dan menutup hari dengan Ingat padaNya juga. Mungkin itu hal itu saja tidak cukup, perlu cukup bukti untuk Tuhan untuk mengetahui bahwa kita benar-benar mencintai dan mengasihinya. Bagaimana jika kita berusaha memberikan sebagian kecil dari waktu kita yang berharga di dunia ini untuk memberikan sesuatu yang keliatannya hanya setitik debu namun dapat berarti banyak bagi kebahagiaan orang lain? Orang mungkin tak pernah tahu bahwa ada kebahagiaan yang tersendiri dari sang pemberi kebahagiaan untuk orang lain. Walaupun kelebihan yang ia punya hanya berupa kemampuan teknis atau non teknis yang kurang memadai, tapi setidaknya ia dapat membagi kemampuan atau keahliannya ke orang lain. Walaupun balasan atau timbal balik yang diberikan tidak dalam materi. Setidaknya secara disadari atau tidak kebahagiaan orang lain adalah lebih penting dari apapun karena kebahagiaan orang lain juga merupakan bagian dari kebahagiaan diri sendiri. Memanglah benar bahwa kita hidup di atas kaki kita sendiri dan dengan tangan kita sendiri. Akan tetapi tidak ada salahnya kan kita menjadikan segala sesuatu yang dapat memberikan makna kepada orang lain sebagai sarana ibadah kita atau sebagai sarana perwujudan cinta dan kasih kita kepada Tuhan? Bukankah berbuat sesuatu untuk orang lain itu lebih bermanfaat daripada seribu kepala yang menunduk berdoa? Harap diingat bahwa kita bukan hendak ingin dilihat orang karena kelebihan yang kita miliki, mencari nama besar ataupun kemasyuran nama, akan tetapi kita hanya mencari cara bagaimana mengambil hati Tuhan sehingga kita dapat Pulang ke rumah sejatiNya. Karena menurut saya tidak ada kebahagiaan yang lebih besar dan sejati selain dekat dengan kesadaran kebahagiaan sejati atau Tuhan itu. Oleh karena itu mulai dari detik ini marilah kita renungkan hidup kita, sudah sejauh manakah kita memberi arti dari hidup yang berharga ini?